Oleh. Muhammad Izul Ridho* |
Kedudukan manusia dalam islam adalah sebagai “hamba Tuhan”, sebagai hamba Tuhan manusia tidak berarti sama sekali dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut al-Qur’an, manusia diciptakan “dengan kedua tanganku” (Surah Shod: 75) lebih lanjut: Tuhan menciptakan Adam dari tanah liat selama empat puluh hari sebelum ia memberikan kepada Adam kehidupan dan jiwa dengan meniupkan nafas-Nya sendiri ke dalam tubuh Adam (Surah Al-Hijr: 29, Shod: 72), wujud Adam adalah pencerminan dari dua dunia. Apa pun yang ditaruh dalam dua dunia itu, ditempatkan dalam wujud manusia. Dan nanti akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri (Surah Fussilat: 53).
Manusia diciptakan dengan membawa fitrah keagamaan yang hanif (potensi positif), yang benar dan manusia tidak dapat menghindari fitrah ini, meskipun boleh jadi manusia melupakannya atau bahkan tidak mengakuinya. Potensi positif ini lebih besar dimiliki manusia dibandingkan potensi negatif (al-Baqarah:226), sehingga seharusnya manusia lebih mudah untuk berbuat baik daripada berbuat jahat. Jadi jika ada manusia yang melakukan keburukan sebenarnya ia harus bersusah payah melawan fitrah dirinya, melawan bashirah-nya.
Namun dalam hadist yang diriwayatkan oleh Tabrani dijelaskan bahwa kemuliaan ukhrawi dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menarik, sementara kesenangan duniawi justru dikelilingi oleh hal-hal yang menarik, maka daya tarik keburukan lebih kuat dibandingkan daya panggil kebaikan, sehingga dorongan kepada keburukan (Ammaratun bissu’) lebih cepat merespon stimulus negatif yang dijumpai. Lingkungan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mendorong potensi postitif (Fitrah) Manusia, lingkungan yang baik akan membuat manusia bertahan dan berkelakuan dengan fitrahnya yang positif dan cenderung pada kebaikan dan lingkungan yang buruk sebaliknya akan membuat manusia melupakan bahkan mengingkari fitrah-nya sehingga kelakuan buruklah yang akan ada pada dirinya.
Salah satu lingkungan yang menjadi pengaruh utama perkembangan potensi manusia adalah lingkungan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu upaya nyata dan mutlak dalam kehidupan manusia untuk meningkatkan taraf kehidupan dan potensi positif (fitrah) manusia. Pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.
Namun dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari demokrasi bukan nilai-nilai dari aqidah agama. Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas sekulerisme pendidikan bangsa ini, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Sekilas, tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu difahami bahwa sekularisme bukan sekedar pandangan hidup yang tidak mengakui adanya Tuhan. Akan tetapi, namun sekularisme lebih pada yakin adanya Tuhan tetapi sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Contoh dari sekularisme pendidikan di indonesia adalah; Pertama, tidak terpisahnya tempat belajar antara siswa dan siswi/Mahasiswa dan mahasiswi sehingga banyak dari mereka yang terjerumus pada perbuatan yang mendekati zina (mereka menyebutnya pacaran), dalam benak mereka dewasa ini berpacaran adalah sebuah keharusan, mereka merasa malu jika tidak Berpacaran. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang ada di negara mayoritas muslim seperti di Malaysia, Mesir dan Brunaidarusalam. Kedua, Pendidikan di indonesia dalam menentukan penilaian hanya mengutamakan Intlektual Quation (IQ) dan cendrung mengesampingkan kemampuan Emotional Quation (EQ) dan Spiritual Quation (SQ), hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sebagai standart kelulusan siswa.
*Rois Niqabah Halaqah Bem Pesantren Wilayah Jawa Timur, Mahasiswa Santri IAI Al-Khairat Pamekasan (M2KD PP. Mambaul Ulum Bata-Bata)
0 Response to "POTENSI POSITIF MANUSIA DAN SEKULARISME PENDIDIKAN INDONESIA"
Post a Comment